.:: Edisi : Bukan penyedap rasa.
Ternyata, kidal itu kiri dari lahir.
.:: Edisi : Lha kalau kadal ???
Yang tadi takkan mungkin diganti, sebab ia tlah mengabadi. Yang termungkinkan hanyalah memaknai kembali agar yang tadi tak membebani diri.
.:: Edisi : Peace man...
Tadi adalah kepastian.
Nanti adalah kemungkinan.
Sekarang adalah pilihan.
.:: Edisi : Dipilih ~ memilih ~ pilihan ~ kemungkinan menjadi kepastian.
Nyuwun mentahan saja Gusti...
Ada yang tak perlu no. rekening ?
.:: Edisi : Gak perlu ikhlas, yang penting banyak.
21:35 ~ Lubang hidung kiri lebih lancar dari lubang hidung kanan, perasaan mendominasi. Mohon maaf, tidak menerima permintaan mikir.
.:: Edisi : Pikiren dhewe.
Banyak hal yang akan terkuak lebar pada setiap pertemuan dan perbincangan secara langsung, hal yang tak akan terjadi dengan hanya membaca sebuah tulisan, betapa pun lihainya sang penulis.
.:: Edisi : Ngrogoh sak.
Selalu, orang pintar kalah sama orang bejo.
.:: Edisi : Jamu tolak mikir.
Tanggal 15, waktunya "padhang mbulan", beli kue terang bulan / martabak manis, makan sekeluarga. Semoga terang juga hidupmu sekeluarga dalam arti seluas-luasnya. Kata adalah doa, prasangka adalah doa, pun demikian dengan simbol, ia doa juga.
.:: Edisi : Wisik mBah DhrunH.
Bersyukur karena bahagia atawa bahagia karena bersyukur.
.:: Edisi : Ora usah digagas.
Membalik keadaan memang tak semudah membalik telapak tangan. Hanya tekad yang kuat yang mampu meredam hinaan, hanya keteguhan yang mampu melandaikan curamnya pendakian dan hanya keberserahan yang mampu mendatangkan lebihnya kemampuan. Hingga saatnya dimampukan membalik keadaan dan hingga sebuah senyum yang selalu tersungging di bibir, meski masih juga menetes buliran air di sudut mata, namun semata karena bahagia. Tertebus juga akhirnya keterpaksaan tirakat sejak belia usia.
.:: Edisi : Melu seneng.
Tak hendak berlaku aniaya, sang Mpu selalu membakar, menempa dan memahat sebongkah logam agar mengindah menjadi keris. Keris pun makin mengkristal indahnya saat menyediakan diri dijiwai jiwa sang Mpu pembuatnya.
.:: Edisi : Ini tentang per-empuan.
Ilmu yang telah menyatu tak perlu jeda waktu saat terungkap dalam prilaku. Itulah laku yang bukan lagi ilmu. Itulah air dari mata air tenangnya hati bukan dari riak ombaknya pikiran.
.:: Edisi : Nggrojog.
Lagi-lagi ketemu orang yang tak bisa diatur waktunya juga tak bisa mengatur waktunya, sebab semat-mata benar-benar sejatinya telah diperjalankan olehNya, mengejawantahkan kehendakNya. Asli, bukan KW apalagi yang palsu.
.:: Edisi : Gasing
Pembawa mandat dan pendengar mandat.
.:: Edisi : Jelas beda.
Segala peristiwa yang terlalui dengan "deg-degan" akan menjadi ingatan yang kuat. Kalau membahagiakan tak menjadi soal, namun kalau sebaliknya itu yang harus dikaliskan.
.:: Edisi : Degan ijo.
Yang kasat mata seolah-olah hasil kerja keras upaya kemampuan kita, itulah rejeki yang masuk akal. Yang selain itu, rejeki yang tidak masuk akal. Banyak yang mana ?
.:: Edisi : Rejeki tak hanya uang.
Menahan nafas beberapa saat merupakan gerbang pembuka bawah sadar. Niat~doa dengan menahan nafas berarti juga memasukkan niat~doa itu ke bawah sadar, sehingga biasanya lebih terwujud nyata dalam laku keseharian untuk mengikhtiari niat~doa itu.
.:: Edisi : Megeng napas.
Yang tak bahagia cenderung tak suka melihat yang lain bahagia. Menciderai kebahagian yang lain merupakan kebahagiaan tersendiri untuknya.
.:: Edisi : Sing waras ngalah.
Standar ganda sering dipergunakan dalam menyikapi sesuatu, meski mungkin tanpa disadari. Saat siang terang bederang, ada sesuatu yang dicaci maki, diperolok dan dicela tanpa jeda. Namun saat malam, dalam kegelapan hatinya sendiri, diam-diam menginginkan hal yang sama dan berharap kapan dapat kesempatan untuk itu. Sama seperti setan yang selalu dikutuk-kutuk, namun diam-diam suka menjadikannya santapan, dibuat bubur. Bubur setan ireng.
.:: Edisi : Bubur setan ireng + jujur kacang ijo, maknyos...
Saat jengah mulai menyapa sebab tak cerahnya suasana, menertawakan diri sendiri yang ada di dalamnya itulah obatnya, sambil menahan diri menunggu akhir kisahnya, seperti apakah gerangan.
.:: Edisi : Mengeluh bukan karakter pimpinan.
Puluhan sms yang terkirim dari HPku hari ini tak mungkin sampai di nomor tujuan hingga aku yakin akan sampainya dan kurelakan melepas sms itu dari HP dengan menekan tombol kirim, melupakannya tanpa ragu sedikitpun tentang sampai tidaknya.
Walau tak paham teknologinya, ikuti saja prosedurnya.
.:: Edisi : Prosedur tak kasat mata mewujudkan asa.
Saat mata menangkap peristiwa, selalu saja pikiran meliar menciptakan bayang-bayang prasangka yang tak terjamin kebenarannya.
.:: Edisi : Daya tipu pikiran, mengerikan.
Tak cukup dengan diam saja, menanggapi keadaan yang tak sesuai harapan, harus segera bergerak, memutari segala sudutnya, agar terkuak cakrawala ilmu baru yang disamarkan di situ.
.:: Edisi : Selalu siap.
Salah satu tanda kematangan adalah tenang dalam memproses, diproses dan berproses, hingga input yang baik akan menghasilkan output yang baik. Meneguhkan, mencerahkan dan menentramkan. Tak demikian bila setengah matang apalagi bila mentah, biasanya outputnya malah menggoyahkan, memburamkan dan menggelisahkan.
.:: Edisi : Lha piye maneh ?
Bagaimana jiwa bisa terdidik, kalau tak ada jiwa terdidik yang mendampingi di lintasan waktunya? Bagaimana pula bisa terdidik kalau pendidiknya malah sibuk berjual beli ? Apalagi bila yang tak terdidik jiwanya merupakan potensi bagi pasar jual belinya ?
.:: Edisi : Potret buram.
Perempuan, menyimpan energi yang dahsyat yang tak dimiliki oleh seorang lelaki. Jangan pernah menjadikannya obyek gurauan, sebab dia ibumu, dia saudaramu, dia anakmu, dia istrimu... ya perempuan itu.
.:: Edisi : Relakah engkau jika mereka diguraukan.
Baik~benar yang terucap~terungkap dari siapapun~apapun, takkan pernah membangkitkan suksma, tidak juga menorehkan rasa atau pun menghadirkan iya apalagi sampai mengejawantah dalam laku~sikap~budhi~pekerti, saat seseorang tak mau menyediakan dirinya untuk terbuka menerima cahaya Tuhannya.
.:: Edisi : Asyiknya buka-bukaan.
Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka balk terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta. #EAN
.:: Edisi : mBah NUN, dawuh. Aamiin.
Layang-layang memang bisa ditarik-ulur saat memainkannya, namun seterampil apa pun pemainnya, tak akan bisa bermain tanpa ada angin yang menerbangkannya. Pemain bukan angin, benang bukan angin, layang-layang bukan angin juga.
.:: Edisi : Ora usah mbok tafsiri.
Selalu saja merasa bisa bergerak, nyatanya hanya jalan di tempat, sekedar bergerak menginjak bumi di tempat yang sama, tanpa sadar kaki-kaki waktu terus menginjak dan menggilas diri, bergerak dengan sesungguhnya gerak, melesat cepat ke depan tanpa jeda sedetik pun. Di sini hanya tinggal bayangan sunyi tanpa arti.
.:: Edisi : Bukan tentangmu, ini tentangku.
Penari tak pernah mengaku dialah tarian, pun demikian tarian, juga tak hendak mengaku dialah penari. Tinggal pilih penari atau tariannya ?
.:: Edisi : Penari dan tariannya. Ini tentang rasa, bukan selera.
Tak hanya burung, kata-kata pun bukan tak mungkin untuk bersayap. Yang terpikir malah bukan termaksud, yang terasa itulah ia.
.:: Edisi : Kata punya rasa.
Meski telah pernah membaca sebuah kisah, mendiamkan keseluruhan diri seakan belum pernah membacanya saat mengulang baca kisah yang sama, merupakan hal yang mengasyikkan, sebab selalu dan tetap tergoda mengetahui akhirnya.
.:: Edisi : Selalu ada hal baru di kisah lama.
Indahnya malam terlihat indahnya hanya dengan diam.
.:: Edisi : Diam-diam memabukkan.
Gelisah selalu akan dan pasti akan, saat melihat yang di luar diri [apa pun itu, juga siapa pun itu], kala prahara di dalam diri belum juga direda, mereda dan reda.
.:: Edisi : Karepmu opo ?
Kalau sudah mau apa ?
.:: Edisi : Setiap ingin.
Meniru [bagaimana pun detail peniruannya] tahapan proses dari setiap pencapaian-pencapaian prestasi dari seseorang, tetap saja tidak bisa sama hasilnya. Sebab, di setiap pencapaian itu selalu ada momen-momen hidayah yang tidak bisa dikejar juga yang tak bisa dihindari.
.:: Edisi : Provokator mastery.
Di dalam sebuah tenda di bawah luasnya kolong langit, mungkin seperti mengkhususkan wirid untuk tujuan tertentu saja atau mempersepsikan semdiri sebuah dawuh yang multidimensional atau juga mengkebiri bekal keluarbiasaan potensi diri pemberianNya.
.:: Edisi : Ngedekke tendo ning ngarep omah.
Iyalah namun jangan langsung iya, untuk menguji kebenaran katanya, kalau engkau terlanjur berprasangka.
.:: Edisi : Wisik mBah DhrunH, khusus untukku.
Berjalan, perlu yakin. Yakin, tak perlu tahu, namun perlu diam. Sebab, yang tak diam, tak kalis godaan, hingga goyah atau bahkan berbalik arah.
.:: Edisi : Pokok'e aku yuakin, mbuh piye carane.
Sekedar gembira itu mudah, namun tak demikian dengan bahagia, sebab bahagia merupakan sebuah pilihan yang memerlukan kesadaran. Di bahagia ada nilai-nilai yang menentramkan, bukan menggelisahkan.
.:: Edisi : Soda gembira vs mega mendung.
Cara termudah agar tidak kePIKIRan adalah dengan tidak memPIKIRkannya.
.:: Edisi : Ning, neng, nang, nung, MATUNG.
Membantu orang lain menjadi lebih baik, jauh lebih mudah dibandingkan dengan membantu diri sendiri menjadi lebih baik. Opo yo ngono ?
.:: Edisi : Sepertinya begicu.
Manusia merasa baik saat melihat manusia lain yang lebih buruk darinya, namun jarang yang mau melihat manusia lain lagi yang lebih baik dari dirinya. Maka saat manusia lain mau berubah dari yang buruk menjadi baik, diam-diam banyak yang tidak suka akan perubahan itu, sebab mereka jadi tidak punya obyek keburukan untuk diperbincangkan, dicela dan direndahkan.
.:: Edisi : Masihkan diriku manusia ?
Rencana itu perlu dan harus, asal tidak menuhankan rencana apalagi merencanakan tuhan, hingga "ngoyo" atau "kemrungsung" atau "nggege mongso" atau tergesa-gesa atau bernafsu, harusnya pasrah mengalir, tenang, terkendali, intuitif dan berakhlaq.
.:: Edisi : BISA vs DIbisaKAN
Makan, asal makan saja, tak pernah hirau akan tubuh yang memprosesnya, lelahkah ia, beratkah ia atau relakah ia. Hanya hirau pada rasa yang terkecap di lidah.
.:: Edisi : Maapin ya... matur tengkyu.
Kadang memunjukkan sesuatu yang "istimewa" itu harus, kalau memang itu bisa melunakkan yang keras atau menundukkan yang tinggi atau juga mencerahkan yang pudar.
.:: Edisi : Ning, neng, nang, nung, PAWANG.
Taat atau pun maksiatnya manusia, tak sekalipun mengurangi jatah pemberianNya yang telah ditetapkan. Tanpa syarat.
.:: Edisi : Mbuh nikmat mbuh azab, yang penting hepi ?!
Numpang eksis atas nama pembelaan dengan prilaku yang justru menjelekkan nama yang dibela ? Ah... setali tiga uang. Belum tentu yang dibela mengurat darah dalam diri dan jiwanya.
.:: Edisi : Dan Panjenenganipin hanya tersenyum, senyum yang tak tertandingi.
ADAKAH yang dulu pernah merencanakan, bahwa di saat ini berada di tempat ini dalam kondisi ini dan sedang menjadi ini dengan segala hal yang melingkupinya ? Padahal dulu hanya seorang bayi yang hadir telanjang tanpa daya dan tak membawa apa pun juga ?
.:: Edisi : DIperjalanKAN, entah bagaimana dengan Panjenengan
Kopi tanpa gula bisa saja tak terasa pahit saat seseorang mampu menjadikan itu sebagai hal baru dengan mengemdalikan diri untuk tak mengakses kenangan tentang manisnya gula.
.:: Edisi : Asal kau pandang wajahku, kopi manis pun terasa pahit.
Kalau perlu, seisi dunia pun akan dilahapnya, memperbesar dirinya dengan menghanguskan yang lainnya. Dia itu api yang tak terkendali.
.:: Edisi : Lagu lama tentang keserakahan, kesewenangan, penindasan dan penguasaan.
Jujur itu kacang ijo. Enak, sehat, murah dan tak melelahkan.
.:: Edisi : ngGaya... tak demikian dengannya.
"Opo Jare..." sebuah semangat menyongsong hari esok atau sebuah keputusasaan menanti hari esok ??? | t.i.p.i.s. | s.a.m.a.r. | k.a.m.u.f.l.a.s.e. |
.:: Edisi : Menyerahlah untuk menang.
Lauknya makan itu lapar, bantalnya tidur itu kantuk.
.:: Edisi : Sugeng ngaso saliro, REBAH.
Ngintir, ning ojo kintir. Ngéli, mung ojo nganti kéli.
Menghanyutlah, namun jangan sampai terhanyut.
.:: Edisi : Pangsit mBah Dhrunh ~ kêntir yo kêntir, ojo nêmên-nêmên.
Sebuah paradoks... diam ~ tak bereaksi, mereaksi, direaksi. Mengarahkan pandangan dengan tak memandang. Memilih dengan tak memiih.
.:: Edisi : Kesempitan dalam kesempatan, DUMEH.
Cara terbaik untuk memperbaiki apa atau siapa / hal atau sesuatu adalah dengan menerimanya terlebih dahulu, bukan dengan menolaknya secara langsung. Menerima berarti menyapa dan menyetarakan serta mempersaudarakan. Ora opo-opo, sing uwis yo uwis... sing durung diati-ati....
.:: Edisi : Apa tolak angin jadi terima angin ??? Gak payu...
Untaian kata juga barisan aksara, tak pernah sekalipun memuat makna, sampai bersua dengan pendengar dan pembacanya yang membandingkan dengan referensi yang terekam dalam dirinya.
Sanggahan bergegas menampakkan eksistensinya saat tak sesuai dengan refernsinya. Pun begitu juga dengan ya, saat bersesuaian dengan referensinya. Yang pasti, ada juga saat "heng", kala tak ada satu pun referensi yang ditemui dalam dirinya.
.:: Edisi : Kapan terakhir kali engkau melakukan hal yang pertama kali engkau lakukan ??? Pasti "heng".
Sabar itu tak pernah sekali pun mempertanyakan tentang kapan berakhirnya sabar itu sendiri.
.:: Edisi : Tokan-takon ae bar... bar...
Cinta itu tak pernah menanyakan tentang pertemuan dan perpisahan, juga jauh dan dekat. Pertemuan atau perpisahan, pun demikian juga dengan jauh dan dekat, itu bukan cinta, tetapi jarak.
.:: Edisi : Tentang apa ya ... ?
Tak perduli apa pun warnamu, bayanganmu tak pernah sekali pun tergoda untuk tak hitam.
.:: Edisi : Bukan dhemit.
Banyak hal atau suatu yang baru tampak saat melihat atau mengamatinya, banyak pula yang baru muncul saat memikirkannya dan tak sedikit juga yang baru wujud saat merasakannya. Mengamati, memikirkan dan merasakan merupakan proses yang memerlukan kesadaran. Kesadaran membentuk realita, maka manusia dengan kesadarannya merupakan bagian dalam mekanisme terbentuknya realita.
.:: Edisi : Nyadar engga sih... NIAT.
Para pembelajar sejati yang menggali ilmu dengan "dalam" biasanya akan menemukan bahwa "benar" akan berlawanan dengan "benar" pula, sehingga saling mebenarkan. Berbeda dengan pembelajar yang hanya asal gali sehingga cukup dengan "dangkal" saja. Bila demikian, "benar" yang ditemukan biasanya akan selalu berlawanan dengan "keliru" sehingga mudah sekali mengkelirukan yang lain sebab membenarkan dirinya sendiri.
.:: Edisi : Ngêduk sumur atawa ngêmut susur ?!
Andai ada "benang ruwet" dalam kehidupan kita, tidak bisa tidak, harus melihat ke dalam dan memperbaiki atau bahkan memutus "karma" kita sendiri. Ini solusi, bukan janji.
.:: Edisi : KARMA, aKAR MAsalah.
Mengajarkan ilmu dengan "harga" yang "murah" apalagi cuma-cuma, hanya akan menyia-siakan ilmu itu sendiri, sebab biasanya mereka yang mendapatkan ilmu dengan "harga" yang "murah" apalagi cuma-cuma akan menyia-siakan yang mereka pelajari. Namun, "harga" itu sendiri tidak identik pula dengan nominal "dollar" tertentu, sebab "harga" itu bisa berupa kesediaan sang pembelajar ilmu untuk melintasi ruang, menempuh jarak dan melalui waktu menuju ke "sumber" ilmu.
.:: Edisi : Provokator MASTERY, persiapan.
Yang perasaannya selalu gelisah karena merasa tersaingi, sudahilah, jika tak demikian, makin jayalah "pesaing"mu sebab energimu engkau alirkan kepadanya. Bersyukurlah mereka yang dianggap saingan tanpa bersikap sebaliknya, sebab selalu mendapat suplai energi dari mereka yang menganggapnya pesaing.
.:: Edisi : Engkau jual aku beli.
Masjid-masjid "tua", meski sederhana dan apa adanya, lebih bernuansa "memanggil" jika dibandingkan dengan masjid-masjid baru yang megah dan moderen. Salah satu sebabnya adalah bahwa penentuan lokasi, proses membangunnya dan segala keterkaitannya lebih bersifat "intuitif" a-teori yang tidak mungkin ditemui pada bangunan masjid baru yang penuh hitungan pada konstruksi dan arsitekturalnya.
.:: Edisi : Selaras dalam harmoni semestaNYA.
Karena "dosa" orang lain berbeda merek/bentuk/model dengan "dosa"nya sendiri itulah, sering manusia menghujat/mencela/menggunjing "dosa" yang lain itu.
.:: Edisi : Karepmu piye ?
Tak ada musuh yang sebelumnya tak menjadi sahabat. Tak ada pula sahabat terbaik, melainkan sebelumnya menjadi musuh.
.:: Edisi : Tom & Jerry.
Bayanganku pun tak mau mengikutiku, saat aku masuk ke ruang gelap tanpa cahaya.
.:: Edisi : Peteng jingglang, padhang ndedet.
Kerelaan saat memberi bantuan kepada orang lain, kadang sering luntur saat di kemudian hari orang yang dibantu telah bisa "berdiri". Lunturnya kerelaan itu seiring dengan munculnya keinginan untuk mendapatkan pengakuan atas bantuan yang dulu diberikan.
.:: Edisi : Iyakah ?
Menanam bayangan juga akan hanya menuai bayangan.
.:: Edisi : LoA.
Bobot ~ bibit ~ bebet , tak hanya pada perjodohan, melainkan juga pada persahabatan sekaligus permusuhan dan segala hal yang ada interaksi di dalamnya.
.:: Edisi : Kebijaksinian JAWA.
Gêlêm ngalah kudu wani ngalih.
.:: Edisi : Wisik mBah DhrunH
Andai doa semua manusia serentak langsung dikabulkan dalam wujud sebagaimana yang dipintanya, pasti akan kacaulah dunia.
.:: Edisi : Mergo karep ra podo.
SUAMI-ISTRI itu tak hanya harus seiya sekata, namun lebih dari itu harus sejiwa hingga tak ada beda, hingga seakan satu nyawa dengan dua wujud rupa. BerSYUKURlah kalau mempunyai istri yang DImampuKAN untuk bisa bersama-sama menertawakan apapun yang sedang menjadi "reribed".
[Nyenggol nyaine... Bundane Cah-Cah, mugiyo ora kesel ngguyu... he... he... he... alhamdulillah ~ matur nuwun]
.:: Edisi : Sigarane nyowo, GARWO.
Ibarat KALKULATOR, kisah kehidupan kita sudah tersedia semua nilainya di dalamnya. Tinggal bagaimana kita menentukan pilihan untuk melakukan operasi hitungnya.Hasil yang keluar sangat tergantung dan sesuai dengan operasi hitung yang kita pilih atau putuskan. TERNYATA, pilihan atau putusan kita tersebut sebenarnya adalah pilihan-NYA atau putusan-NYA. Arêp ngéyél piyé manéh to kowé ?!
.:: Edisi : Sebab musabab.
==========
By : Den Bagus